Sabtu, 14 Februari 2015

[Cerpen] Toga Buat Mamah!


Aku punya cerita.
Aku anak ketiga dari empat bersaudara. Kedua orang tuaku masih lengkap. Kami hidup amat akur dan sederhana. Yah, tidak dipungkiri ada saat pertikaian-pertikaian kecil itu muncul. Oh iya, aku Hana, usiaku kini menginjak 22 tahun. Aku sengaja menceritakan latar belakang keluargaku kepada kalian semua. Sebab aku ingin berbagi kisah serta kasih yang aku rasakan, yang aku punya.
_____

          “Mah, ayah bilang minta uang sepuluh ribu buat beli rokok.”
          “Mah, aku titip Caka, yah! Mau mandi sebentar.”
          “Nanti dulu mamah masih sibuk memasak.”
          “Yah, uang buat ngurus STNK mana?”
          Oek… oek… oek…
          “Nantilah, ayah belum gajian, kok!”
          “Nanti-nanti denda dong.”
          “Caka tadi udah minum susu?”
          “Ya, kamu bayar sendiri kalau takut denda. Toh, kamu udah kerja.”

          Bla bla bla……………

      Ramai seperti pasar rumahku ini, disana-sini terdengar suara manusia. Menjerit memanggil-manggil mamah, minta uang ke ayah, belum lagi keponakanku yang berusia 2 bulan ikut menyumbangkan suara lucunya.

          “Han, jagain Caka dulu. Teh Uli mau mandi udah sore.” Teriak mamah dari dapur.

       Namun, aku masih asyik menuliskan cerita di blogku tanpa menghiraukan teriakannya. Jelas saja, mamah kembali berteriak menyuruhku untuk kesekian kalinya.

          “Iyaaaaaaa,” balasku dari dalam kamar.

          Aku segera menutup laptop dan berlalu untuk segera menjaga keponakan laki-lakiku.

      “Hai, Caka. Aaaaa… Udah mandi, wangi. Jalan-jalan belum yah, hehehe.” Begitu gayaku berinteraksi dengannya. Aku tidak begitu yakin dia mengerti bahasaku, jika melihat dari ekpresinya yang membuang muka dariku artinya dia tidak suka dengan gaya berinteraksiku. Aku memang kurang pandai dalam hal ini.

         “Fit, belikan dulu kecap di kedai Aceh!,” perintah mamah menyuruh adik paling kecilku bernama Fitri.
          “Males, ah.”
          “Cepat dong, biar semurnya cepat matang.”
          “Males, mah. Capek banget aku. Suruh aja Hana.”
          “Nggak ngeliat apa aku lagi jagain Caka,” aku menggerutu sangat pelan.
          “Han, belikan sebentar!”
          “Huh,” aku pergi dengan –ya, hati  yang sedikit kesal.

          Adikku Fitri, berbeda usia 2 tahun denganku. Tapi, wataknya sangat menjengkelkan. Wajahnya sedikit lebih tua dibanding denganku dan jika berbicara, jangan heran bila sangat menyakitkan hati. Anak yang satu ini entah mengikuti sifat siapa? Oh, ada sih salah satu bibiku yang seperti itu. Adik ayah, bibi Rumi. Mungkin karena terlalu sering bersama maka mereka terlihat sama.

          “Kamu nggak mandi Fit udah sore begini?” Tanya mamah.
          “Nanti malam aja.”
            “Kamu ini semua serba nanti. Lambat sekali kerjanya, anak gadis kok mandi malam-malam.”
          “Yang penting mandi. Ya udah, mamah aja mandi duluan.”
          “Iya deh, mamah udah siap masak, kok.”

          Oek… oek… oek….
          Oek… oek… oek….
***

Pernah suatu malam aku menangis sendirian untuk pertama kalinya. Di dapur, membaca sebuah pesan. Tanganku gemetar saat ingin membalas pesan itu. Mengejutkan bagiku. Sangat menyakitkan untuk mamahku. Aku enggak bisa menahan rasa takut itu, yang terlintas di pikiranku hanya “Aku takut pada sebuah perpisahan.” Waktu itu, hp di genggamanku tak mampu kugenggam lagi. Ia terjatuh beserta dengan bayangan yang serta-merta membuat air mataku mengalir.
_____

          “Mamah, capek ya?” Tanyaku kepada mamah –sambil membaca status terbaru teman-teman di facebook.
          “Banget. Pijitin tangan mamah, dong!”
          “Sebentar, mah!”

       Mamah menunggu hingga setengah jam dari ucapanku yang “Sebentar” itu. Lalu akhirnya ia memilih merebahkan tubuhnya di kasur tepat di sampingku.

          “Sini, mah!” Sambil memejamkan matanya, aku mulai meremas-remas tangannya.
        “Duh, pijitan kamu nggak terasa. Belum makan, ya?” Ucapnya menyindirku yang tidak pandai memijit –namanya juga bukan tukang pijit, mah!
          “Udah kok, mah.”
          “Udah deh, nggak enak. Badan mamah malah tambah sakit semua.”
          “Mah!”
          “Hemmm,” mamah masih memejamkan matanya.
          “Kemarin Hana dengar ayah telponan sama wanita itu lagi.”

          Kemudian mamah bangkit dari rebahannya untuk mendengarkan ceritaku.

          “Terus kenapa?”
      “Hana pengen labrak itu perempuan, mah! Pengen Hana hajar mukanya.” Duh, kalau sudah membahas ini hatiku suka deg-deg-an.
          “Enggak perlu. Kamu tidak akan berani!”

          Kata-kata mamah membuat aku down, rasanya aku tidak ingin lagi membelanya.

          “Hana berani kok, mah. Kalau sekali lagi ketahuan ayah begitu, Hana akan labrak perek itu.”
       “Sudah entah keberapa kalinya kamu mendapati ayah bertelponan dengannya, bahkan pesan-pesan di hp-nya sudah entah berapa kali juga kamu hapus saking geramnya.”

        Aku mendengar semua ucapan mamah. Tapi, tidak sanggup menahan getar ketakutan dalam hati.

          “Kamu tidak berani menghadapinya Hana.” Ucapnya menyepelekanku.
          “Dasar tidak punya otak, udah tua nggak tau tua,” gerutuku.
          “Mamah tau kamu tidak akan bisa melakukannya. Lihat, matamu berkaca-kaca.
           Seseorang yang mampu tidak akan pernah memperlihatkan rasa takutnya dengan air mata.
           Namun, jika ia berhasil maka air mata adalah teman berbahagianya.”

       Mendengar itu, aku segera mengusap air mata yang tak bisa lagi kutahan. Mamah tahu aku sangat takut.

         “Dengerin mamah! Mamah akan tinggalin ayah kalau mamah benar-benar tidak sanggup lagi. Berpisah atau bercerai bukanlah hal yang perlu ditakuti.”

         Hatiku mengatakan kalau hal itu enggak akan pernah terjadi. Betapa pun saat ini kebencianku bertambah kepada ayah karena kelakuannya, aku tetap ingin keluargaku utuh. Keinginanku sangat manusiawi, bukan?

          “Kalian ini sudah besar-besar, bisa memilih jalannya masing-masing. Mamah udah tenang.”

        Mustahil bagiku bila mamah tidak menyimpan rasa sakit di dalam hatinya. Aku tahu, mamah memang begitu kuat bahkan lebih kuat dari apapun. Aku selalu berdoa agar situasi dan kondisi seperti ini lenyap seketika ditelan bumi.

        Setiap hari mamah harus bersabar melayani para pelanggan yang hendak mencicipi makanannya di pagi hari. Setiap jam 4 pagi, mamah sudah harus bangun untuk memasak. Bukan memasak untuk sarapan pagi kami melainkan untuk dagangannya. Sudah kukatakan dari awal kalau yang kuceritakan ini tentang keluarga sederhana. Sangat sederhana.

          Aku terbangun tepat saat jarum jam akan menuju angka 6 –lebih tepatnya aku terbangun pukul 05.30 disaat azan subuh baru selesai berkumandang. Dengan sigap aku turun dari tempat tidur lalu berlari ke dapur –sebelumnya aku harus ke toilet dulu untuk membersihkan kotoran di wajah setelah tidur.

          “Sholat subuh dulu.”
          “Enggak ah, mah! Udah telat, nanti enggak sempat bantuin mamah.”

       Orang-orang seperti kami harus serba cepat, alih-alih ingin bekerja dengan santai maka para pelanggan akan kabur ke tukang lontong sebelah. Satu demi satu bahan-bahan terus kumasukkan. Sedang memasak yang ini, ya sambil menyambi yang itu.

       Ayahku juga sudah bangun lebih dulu, setiap harinya ia yang membersihkan halaman depan tempat untuk berjualan. Mbak Uli sebenarnya tidak tinggal disini, dia datang kesini seminggu sekali saja. Sementara Fitri dan abangku Yusra, bisa kiamat dunia ini jika bisa bangun pagi dengan cepat.

         Setelah semuanya rampung, barulah aku membenahi diri untuk segera menuntut ilmu. Di salah satu kampus di kota Medan ini –kampus yang relatif murah biayanya bagi orang kaya, aku berjumpa dengan manusia-manusia penggila ilmu. Entahlah, apa semua orang yang berada di kampus ini punya hasrat yang sama denganku?

       Aku sadar harus belajar dengan keras walau otakku cuma pas-pasan untuk menerima semua pelajaran yang diberikan. Karena aku terlalu memaksakan keinginan untuk berkuliah maka orang tua harus berkorban dan berjuang ekstra giat lagi.

Mamah mau jujur aja. Mamah enggak sanggup kalau harus menguliahkan dua anak sekaligus. Mamah enggak punya uang.

          Itu kata-kata yang melekat di otakku hingga kini. Aku dan Fitri sama-sama sedang melanjutkan akademis dengan tingkat yang sama. Fitri tidak cukup pintar untuk bisa melampauiku, hanya saja aku yang harus sabar menahan cita-cita. Dua tahun, waktu yang kubiarkan untuk mengabdi pada perusahaan retail seusai sekolahku selesai. Di saat tabungan dari gajiku terbilang cukup, aku melanjutkan study ke kampus yang –ya, mungkin hanya kampus yang dihuni oleh orang beruang ngepas –lumayan bagus menurutku. Aku banyak berharap nasib akan berubah jika aku menuntut ilmu di kampus ini.

        Tapi, kenyataannya sekarang berbeda. Aku bukan lagi orang dengan pendapatan sendiri setiap bulan. Aku sendiri bingung, entah sejauh mana tanganku bisa menulis segala silabus yang diberikan oleh dosen. Namun, aku harus tetap semangat seperti mamah.

         Mamah adalah manusia inspirasiku. Seumur hidup dan sejak  Mario Teguh tenar di televisi, aku selalu membenci kata-kata muslihat para motivator. Yang kupercaya hanyalah peluh keringat mamah yang terlihat oleh mata kepalaku sendiri. Tidak banyak yang ia harapkan, hanya ingin anaknya bekerja di kantoran. Itu saja.

         “Mah, bayar uang pembersihan nilai mah.”
      “Apa nggak bisa ditingkatin lagi Fit? Masa, setiap melihat hasil kamu selalu minta uang pembersihan.”
        “Dapat segitu juga udah sukur mah. Ketimbang digagalin sama dosen.”
        “Apa alasannya dosen bakal menggagalkan kamu?” Sambarku mencampuri percakapan ini.
       “Ya, nggak ada. Kadang, kan, dosen suka dengan seenak jidatnya aja. Kalau suka ya bagus kalau nggak ya sukurin.”
      “Nggak akan ada alasannya dosen menggagalkan mahasiswa, kecuali kamu sendiri yang nggak disiplin atau bisa juga jika bodohmu unlimited.”
       “Memangnya berapa IP punyamu?” Muka Fitri tampak masam mengatakannya.
       “Belum liat mah,” ucapku mengeles sudah seperti bajai.

        Beberapa menit kemudian seseorang datang ke rumah.

        “Assalamualaikum, Bu.” Terdengar suara wanita dari luar.
        “Waalaikumsalam,” serentak kami membalas salam. Tetangga sebelah gang rupanya.

     Keesokan harinya aku dan mamah pergi ke pasar guna melengkapi segala kebutuhan untuk pesanan tetangga yang kemarin datang. Mamah bisa pingsan meladeni 200 orang yang ingin menyantap lontong buatannya.

        “Fit, mamah lupa nih beli ketumbar. Tolong beliin di kedai bu Armi ya, Fit!”
        “Iya mah, uangnya mana?”
        “Itu ambil aja di dompet mamah.”

        Tidak lama Fitri pun pulang.

        “Ini, mah.”
        “Kecap kita abis rupanya. Beliin lagi ya, Nak.”

        Fitri pun pergi lagi dan pulang dengan membawa kecap kemasan besar.

        “Bantuin Hana angkat rebusan lontongnya ya, Fit.”

        Fitri masih menurutinya. Hari ini kami berdua kompak, enggak seperti biasanya.

        “Fit, ambilin itu, tuh,” ucapnya sambil menunjuk sendok di atas meja.
        “Hana tolongin mamah buat perkedel,” perintahnya kemudian.
        “Fit, aduk sayurnya yang bener ya.”
        “Fit, ambilin mamah ini dong. Apa namanya, itu ….”
       “Mah, mana sih yang mau dikerjakan. Ini itu Fitri. Belum selesai yang ini, nyuruh yang itu. Tangan Fitri juga cuma dua, Mah. Sama kayak mamah.”

        Sontak aku terdiam mendengar bentakan itu. Mamah pun terpaksa menelan ludah.

       “Ya udah, kerjain itu dulu.” Senyum mamah merekah. Itu senyum keterpaksaan. I know.
       “Han, kerjain yah. Mamah mau nyatetin apa yang kurang. Mamah pinjam buku kamu, ya.”
       “Iya, mah. Ambil aja di tas.”

     Aku dan Fitri kembali mengerjakan masakan di dapur. Lima belas menit berlalu dan nyaris selesai. Aku menyusul mamah ke kamar.

       “Mah, udah selesai, tuh. Tapi telur rebusnya masih kurang.”
       “Mah, beli telur lagi nggak?”
       “Mah, mamah baca apa, sih?”
       “Kamu bilang belum lihat IP kamu.”
       “Memang belum, mah.”
       “Lah, ini?”
       “Oh, ini KHS semester lalu, mah. Kalau semester ini aku belum cetak.”

        Aku mengambil kertas selembar itu dari tangan mamah lalu menyimpannya kembali.

       “Jadi beli telur lagi nggak, mah?”
       “Kamu kok enggak pernah cerita kalau nilai kamu banyak bagusnya?”
       “Enggak apa-apa, mah. Simpen aja.”
       “Kamu enggak usah cari kerja lagi, ya. Kamu fokus kuliah aja.”
       “Iya, kalau tabungan masih cukup ya, mah.”
     “Kamu masih jadi tanggung jawab mamah. Terusin belajar kamu, ya. Enggak apa-apa, mamah masih kuat cari uang buat kuliah kamu dan Fitri.”

       Tangan lusuh itu menyentuh permukaan kulitku. Menghapus air mataku.

       “Mamah udah bilang …”
      “Namun jika berhasil maka air mata adalah teman berbahagianya,” ringkasku memotong ucapannya.

       Dia tersenyum lagi, kali ini senyum ketulusan.

       “Mah!”
       “Ya, Hana.”
       “Mamah pernah bilang pengen aku kerja di kantoran, kan!”

       Mamah mengangguk.

      “Boleh Hana persembahkan toga yang paling indah nanti buat mamah?”

       Mamah memelukku, erat sekali. Membisikkanku sesuatu.

       “Persembahkan juga untuk ayah ya, Nak!”
***

Kalimat klise yang mengatakan “Ibu adalah Makhluk Terhebat” aku akui itu adalah kenyataan. Sekarang aku mengerti bahwa bahagia benar-benar sangat sederhana. Mamah mengajarkan aku, tulus itu bahagia.

      Postingan cerita tentang mamah merupakan postingan terakhirku di blog. Ini caraku meninggalkannya untuk bisa lebih fokus menatap masa depan.

_____



Subscribe to Our Blog Updates!




Share this article!

2 komentar:

  1. bagus blog ya hehe
    main2 ya di alvisahrin.blogspot.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. siaaaapppppp rajin-rajin main juga ya kesini
      kritik dan sarannya jgn lupa bang :)))))))))

      Hapus

Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML