Aku
punya cerita.
Aku
anak ketiga dari empat bersaudara. Kedua orang tuaku masih lengkap. Kami hidup
amat akur dan sederhana. Yah, tidak dipungkiri ada saat pertikaian-pertikaian kecil itu
muncul. Oh iya, aku Hana, usiaku kini menginjak 22 tahun. Aku sengaja menceritakan
latar belakang keluargaku kepada kalian semua. Sebab aku ingin berbagi kisah
serta kasih yang aku rasakan, yang aku punya.
_____
“Mah,
ayah bilang minta uang sepuluh ribu buat beli rokok.”
“Mah,
aku titip Caka, yah! Mau mandi sebentar.”
“Nanti
dulu mamah masih sibuk memasak.”
“Yah,
uang buat ngurus STNK mana?”
Oek…
oek… oek…
“Nantilah,
ayah belum gajian, kok!”
“Nanti-nanti
denda dong.”
“Caka
tadi udah minum susu?”
“Ya,
kamu bayar sendiri kalau takut denda. Toh, kamu udah kerja.”
Bla
bla bla……………
Ramai
seperti pasar rumahku ini, disana-sini terdengar suara manusia. Menjerit memanggil-manggil mamah, minta uang ke ayah, belum lagi keponakanku yang berusia 2
bulan ikut menyumbangkan suara lucunya.
“Han,
jagain Caka dulu. Teh Uli mau mandi udah sore.” Teriak mamah dari dapur.
Namun,
aku masih asyik menuliskan cerita di blogku tanpa menghiraukan teriakannya.
Jelas saja, mamah kembali berteriak menyuruhku untuk kesekian kalinya.
“Iyaaaaaaa,”
balasku dari dalam kamar.
Aku
segera menutup laptop dan berlalu untuk segera menjaga keponakan laki-lakiku.
“Hai,
Caka. Aaaaa… Udah mandi, wangi. Jalan-jalan belum yah, hehehe.” Begitu gayaku
berinteraksi dengannya. Aku tidak begitu yakin dia mengerti bahasaku, jika
melihat dari ekpresinya yang membuang muka dariku artinya dia tidak suka dengan
gaya berinteraksiku. Aku memang kurang pandai dalam hal ini.
“Fit,
belikan dulu kecap di kedai Aceh!,” perintah mamah menyuruh adik paling kecilku
bernama Fitri.
“Males,
ah.”
“Cepat
dong, biar semurnya cepat matang.”
“Males,
mah. Capek banget aku. Suruh aja Hana.”
“Nggak
ngeliat apa aku lagi jagain Caka,” aku menggerutu sangat pelan.
“Han,
belikan sebentar!”
“Huh,”
aku pergi dengan –ya, hati yang sedikit
kesal.
Adikku
Fitri, berbeda usia 2 tahun denganku. Tapi, wataknya sangat menjengkelkan. Wajahnya
sedikit lebih tua dibanding denganku dan jika berbicara, jangan heran bila
sangat menyakitkan hati. Anak yang satu ini entah mengikuti sifat siapa? Oh,
ada sih salah satu bibiku yang seperti itu. Adik ayah, bibi Rumi. Mungkin
karena terlalu sering bersama maka mereka terlihat sama.
“Kamu
nggak mandi Fit udah sore begini?” Tanya mamah.
“Nanti
malam aja.”
“Kamu
ini semua serba nanti. Lambat sekali kerjanya, anak gadis kok mandi
malam-malam.”
“Yang
penting mandi. Ya udah, mamah aja mandi duluan.”
“Iya
deh, mamah udah siap masak, kok.”
Oek…
oek… oek….
Oek…
oek… oek….
***
Pernah suatu malam aku menangis
sendirian untuk pertama kalinya. Di dapur, membaca sebuah pesan. Tanganku
gemetar saat ingin membalas pesan itu. Mengejutkan bagiku. Sangat menyakitkan
untuk mamahku. Aku enggak bisa menahan rasa takut itu, yang terlintas di
pikiranku hanya “Aku takut pada sebuah perpisahan.” Waktu itu, hp di
genggamanku tak mampu kugenggam lagi. Ia terjatuh beserta dengan bayangan yang
serta-merta membuat air mataku mengalir.
_____
“Mamah,
capek ya?” Tanyaku kepada mamah –sambil membaca status terbaru teman-teman di
facebook.
“Banget.
Pijitin tangan mamah, dong!”
“Sebentar,
mah!”
Mamah
menunggu hingga setengah jam dari ucapanku yang “Sebentar” itu. Lalu akhirnya
ia memilih merebahkan tubuhnya di kasur tepat di sampingku.
“Sini,
mah!” Sambil memejamkan matanya, aku mulai meremas-remas tangannya.
“Duh,
pijitan kamu nggak terasa. Belum makan, ya?” Ucapnya menyindirku yang tidak
pandai memijit –namanya juga bukan tukang pijit, mah!
“Udah
kok, mah.”
“Udah
deh, nggak enak. Badan mamah malah tambah sakit semua.”
“Mah!”
“Hemmm,”
mamah masih memejamkan matanya.
“Kemarin
Hana dengar ayah telponan sama wanita itu lagi.”
Kemudian
mamah bangkit dari rebahannya untuk mendengarkan ceritaku.
“Terus
kenapa?”
“Hana
pengen labrak itu perempuan, mah! Pengen Hana hajar mukanya.” Duh, kalau sudah
membahas ini hatiku suka deg-deg-an.
“Enggak
perlu. Kamu tidak akan berani!”
Kata-kata
mamah membuat aku down, rasanya aku tidak ingin lagi membelanya.
“Hana
berani kok, mah. Kalau sekali lagi ketahuan ayah begitu, Hana akan labrak perek
itu.”
“Sudah
entah keberapa kalinya kamu mendapati ayah bertelponan dengannya, bahkan pesan-pesan
di hp-nya sudah entah berapa kali juga kamu hapus saking geramnya.”
Aku
mendengar semua ucapan mamah. Tapi, tidak sanggup menahan getar ketakutan dalam
hati.
“Kamu
tidak berani menghadapinya Hana.” Ucapnya menyepelekanku.
“Dasar
tidak punya otak, udah tua nggak tau tua,” gerutuku.
“Mamah
tau kamu tidak akan bisa melakukannya. Lihat, matamu berkaca-kaca.
Seseorang
yang mampu tidak akan pernah memperlihatkan rasa takutnya dengan air mata.
Namun,
jika ia berhasil maka air mata adalah teman berbahagianya.”
Mendengar
itu, aku segera mengusap air mata yang tak bisa lagi kutahan. Mamah tahu aku
sangat takut.
“Dengerin
mamah! Mamah akan tinggalin ayah kalau mamah benar-benar tidak sanggup lagi.
Berpisah atau bercerai bukanlah hal yang perlu ditakuti.”
Hatiku
mengatakan kalau hal itu enggak akan pernah terjadi. Betapa pun saat ini
kebencianku bertambah kepada ayah karena kelakuannya, aku tetap ingin
keluargaku utuh. Keinginanku sangat manusiawi, bukan?
“Kalian
ini sudah besar-besar, bisa memilih jalannya masing-masing. Mamah udah tenang.”
Mustahil
bagiku bila mamah tidak menyimpan rasa sakit di dalam hatinya. Aku tahu, mamah
memang begitu kuat bahkan lebih kuat dari apapun. Aku selalu berdoa agar
situasi dan kondisi seperti ini lenyap seketika ditelan bumi.
Setiap
hari mamah harus bersabar melayani para pelanggan yang hendak mencicipi
makanannya di pagi hari. Setiap jam 4 pagi, mamah sudah harus bangun untuk
memasak. Bukan memasak untuk sarapan pagi kami melainkan untuk dagangannya.
Sudah kukatakan dari awal kalau yang kuceritakan ini tentang keluarga
sederhana. Sangat sederhana.
Aku
terbangun tepat saat jarum jam akan menuju angka 6 –lebih tepatnya aku
terbangun pukul 05.30 disaat azan subuh baru selesai berkumandang. Dengan sigap
aku turun dari tempat tidur lalu berlari ke dapur –sebelumnya aku harus ke
toilet dulu untuk membersihkan kotoran di wajah setelah tidur.
“Sholat
subuh dulu.”
“Enggak
ah, mah! Udah telat, nanti enggak sempat bantuin mamah.”
Orang-orang
seperti kami harus serba cepat, alih-alih ingin bekerja dengan santai maka para
pelanggan akan kabur ke tukang lontong sebelah. Satu demi satu bahan-bahan
terus kumasukkan. Sedang memasak yang ini, ya sambil menyambi yang itu.
Ayahku
juga sudah bangun lebih dulu, setiap harinya ia yang membersihkan halaman depan
tempat untuk berjualan. Mbak Uli sebenarnya tidak tinggal disini, dia datang
kesini seminggu sekali saja. Sementara Fitri dan abangku Yusra, bisa kiamat
dunia ini jika bisa bangun pagi dengan cepat.
Setelah
semuanya rampung, barulah aku membenahi diri untuk segera menuntut ilmu. Di
salah satu kampus di kota Medan ini –kampus yang relatif murah biayanya bagi
orang kaya, aku berjumpa dengan manusia-manusia penggila ilmu. Entahlah, apa
semua orang yang berada di kampus ini punya hasrat yang sama denganku?
Aku
sadar harus belajar dengan keras walau otakku cuma pas-pasan untuk menerima
semua pelajaran yang diberikan. Karena aku terlalu memaksakan keinginan untuk
berkuliah maka orang tua harus berkorban dan berjuang ekstra giat lagi.
Mamah mau jujur aja. Mamah enggak
sanggup kalau harus menguliahkan dua anak sekaligus. Mamah enggak punya uang.
Itu
kata-kata yang melekat di otakku hingga kini. Aku dan Fitri sama-sama sedang
melanjutkan akademis dengan tingkat yang sama. Fitri tidak cukup pintar untuk
bisa melampauiku, hanya saja aku yang harus sabar menahan cita-cita. Dua tahun, waktu
yang kubiarkan untuk mengabdi pada perusahaan retail seusai sekolahku selesai.
Di saat tabungan dari gajiku terbilang cukup, aku melanjutkan study ke kampus
yang –ya, mungkin hanya kampus yang dihuni oleh orang beruang ngepas –lumayan
bagus menurutku. Aku banyak berharap nasib akan berubah jika aku menuntut ilmu
di kampus ini.
Tapi,
kenyataannya sekarang berbeda. Aku bukan lagi orang dengan pendapatan sendiri
setiap bulan. Aku sendiri bingung, entah sejauh mana tanganku bisa menulis
segala silabus yang diberikan oleh dosen. Namun, aku harus tetap semangat seperti mamah.
Mamah
adalah manusia inspirasiku. Seumur hidup dan sejak Mario Teguh tenar di televisi, aku selalu
membenci kata-kata muslihat para motivator. Yang kupercaya hanyalah peluh
keringat mamah yang terlihat oleh mata kepalaku sendiri. Tidak banyak yang ia
harapkan, hanya ingin anaknya bekerja di kantoran. Itu saja.
“Mah,
bayar uang pembersihan nilai mah.”
“Apa
nggak bisa ditingkatin lagi Fit? Masa, setiap melihat hasil kamu selalu minta
uang pembersihan.”
“Dapat
segitu juga udah sukur mah. Ketimbang digagalin sama dosen.”
“Apa
alasannya dosen bakal menggagalkan kamu?” Sambarku mencampuri percakapan ini.
“Ya, nggak ada. Kadang, kan, dosen suka dengan seenak jidatnya aja. Kalau suka ya bagus
kalau nggak ya sukurin.”
“Nggak
akan ada alasannya dosen menggagalkan mahasiswa, kecuali kamu sendiri yang
nggak disiplin atau bisa juga jika bodohmu unlimited.”
“Memangnya
berapa IP punyamu?” Muka Fitri tampak masam mengatakannya.
“Belum
liat mah,” ucapku mengeles sudah seperti bajai.
Beberapa
menit kemudian seseorang datang ke rumah.
“Assalamualaikum,
Bu.” Terdengar suara wanita dari luar.
“Waalaikumsalam,”
serentak kami membalas salam. Tetangga sebelah gang rupanya.
Keesokan
harinya aku dan mamah pergi ke pasar guna melengkapi segala kebutuhan untuk
pesanan tetangga yang kemarin datang. Mamah bisa pingsan meladeni 200 orang
yang ingin menyantap lontong buatannya.
“Fit,
mamah lupa nih beli ketumbar. Tolong beliin di kedai bu Armi ya, Fit!”
“Iya
mah, uangnya mana?”
“Itu
ambil aja di dompet mamah.”
Tidak lama Fitri pun pulang.
“Ini,
mah.”
“Kecap
kita abis rupanya. Beliin lagi ya, Nak.”
Fitri
pun pergi lagi dan pulang dengan membawa kecap kemasan besar.
“Bantuin
Hana angkat rebusan lontongnya ya, Fit.”
Fitri
masih menurutinya. Hari ini kami berdua kompak, enggak seperti biasanya.
“Fit,
ambilin itu, tuh,” ucapnya sambil menunjuk sendok di atas meja.
“Hana
tolongin mamah buat perkedel,” perintahnya kemudian.
“Fit,
aduk sayurnya yang bener ya.”
“Fit,
ambilin mamah ini dong. Apa namanya, itu ….”
“Mah,
mana sih yang mau dikerjakan. Ini itu Fitri. Belum selesai yang ini, nyuruh yang
itu. Tangan Fitri juga cuma dua, Mah. Sama kayak mamah.”
Sontak
aku terdiam mendengar bentakan itu. Mamah pun terpaksa menelan ludah.
“Ya
udah, kerjain itu dulu.” Senyum mamah merekah. Itu senyum keterpaksaan. I know.
“Han,
kerjain yah. Mamah mau nyatetin apa yang kurang. Mamah pinjam buku kamu, ya.”
“Iya,
mah. Ambil aja di tas.”
Aku
dan Fitri kembali mengerjakan masakan di dapur. Lima belas menit berlalu dan
nyaris selesai. Aku menyusul mamah ke kamar.
“Mah,
udah selesai, tuh. Tapi telur rebusnya masih kurang.”
“Mah,
beli telur lagi nggak?”
“Mah,
mamah baca apa, sih?”
“Kamu
bilang belum lihat IP kamu.”
“Memang
belum, mah.”
“Lah,
ini?”
“Oh, ini
KHS semester lalu, mah. Kalau semester ini aku belum cetak.”
Aku
mengambil kertas selembar itu dari tangan mamah lalu menyimpannya kembali.
“Jadi
beli telur lagi nggak, mah?”
“Kamu
kok enggak pernah cerita kalau nilai kamu banyak bagusnya?”
“Enggak
apa-apa, mah. Simpen aja.”
“Kamu
enggak usah cari kerja lagi, ya. Kamu fokus kuliah aja.”
“Iya,
kalau tabungan masih cukup ya, mah.”
“Kamu
masih jadi tanggung jawab mamah. Terusin belajar kamu, ya. Enggak apa-apa,
mamah masih kuat cari uang buat kuliah kamu dan Fitri.”
Tangan
lusuh itu menyentuh permukaan kulitku. Menghapus air mataku.
“Mamah
udah bilang …”
“Namun
jika berhasil maka air mata adalah teman berbahagianya,” ringkasku memotong
ucapannya.
Dia
tersenyum lagi, kali ini senyum ketulusan.
“Mah!”
“Ya,
Hana.”
“Mamah
pernah bilang pengen aku kerja di kantoran, kan!”
Mamah
mengangguk.
“Boleh Hana persembahkan toga yang paling indah nanti buat mamah?”
Mamah
memelukku, erat sekali. Membisikkanku sesuatu.
“Persembahkan
juga untuk ayah ya, Nak!”
***
Kalimat klise yang mengatakan
“Ibu adalah Makhluk Terhebat” aku akui itu adalah kenyataan. Sekarang aku
mengerti bahwa bahagia benar-benar sangat sederhana. Mamah mengajarkan aku,
tulus itu bahagia.
Postingan
cerita tentang mamah merupakan postingan terakhirku di blog. Ini caraku
meninggalkannya untuk bisa lebih fokus menatap masa depan.
_____

bagus blog ya hehe
BalasHapusmain2 ya di alvisahrin.blogspot.com
siaaaapppppp rajin-rajin main juga ya kesini
Hapuskritik dan sarannya jgn lupa bang :)))))))))