Minggu, 01 November 2015

Pintu Tujuh



Semakin mencekam suasana yang kurasa, semakin kutelusuri pula tiap-tiap koridor yang ada. Suara-suara jeritan yang mengilukan telinga terasa semakin dekat.

Di sini, tepat di titik aku berdiri sekarang. Tubuh ringkih itu berbalik arah. Mata sipit yang dipaksa untuk menatapku, aku gemetaran. Dia –kakek tua yang mencoba berjalan dalam keadaan pincang serta muka yang terluka tak dapat kukenali –menuju ke arahku. Aku tak berani menatapnya lebih dalam. Aku menundukkan kepala, aku ingin mengalihkan niatnya mendekatiku tapi sepertinya gagal.

Dia mendekat, tangannya mulai meraba wajahku.

“Nooooooooooo……..” Mataku terpejam, berteriak sekencang-kencangnya. Kubawa tubuhku untuk berlari.

Hah…hah…hah… napasku tersengal setelah berlari sejauh ini.

“Dimana aku sebenarnya? Siapa dia?” Teriakku dengan nada agak tercekik.

Terdengar bunyi langkah kaki yang terseret-seret, jantungku berdegup kencang sekali. Mawas diri, aku mewaspadai sekeliling. Kuharap dia tak mucul lagi. Satu dua tiga empat, kuhitung dalam hati. Raungan yang menyeramkan terdengar dari sebelah kiri telingaku, persis seperti ada sesuatu di balik lorong pintu.

“Aaaaaa…… Aaaaaaa,” teriakku lagi saat aku tertindih olehnya. Dengan linggis di tangan kanannya. Aku harus melawan.

“Aaaaa ….. Ahh,” sekuat tenaga kutendang bagian perutnya. Aku terlepas dari cengkramannya, aku harus berlari lagi. Linggis itu, harus kubawa. Mencari langkah yang pas agar dapat melewati tubuhnya yang kotor. SIAL! Dia kembali menangkap kakiku lalu diseret olehnya. Badanku lemas, napasku sesak. Linggis itu, Tidakkkkkkkkkkkkkk!

Aku terbangun dan menatap nanar situasi sekelilingku.

“Kamu sudah sadar. Lihat, keringatmu bercucuran.” Ucap Dian, wanita yang baru kukenal sejak pertemuan kami di Lawang Sewu.

“Aku dimana?” Ternyata aku berada di kamar seorang pejuang veteran tahun 1920-an. Aku pingsan saat menuju pintu ketujuh Lawang Sewu karena kelelahan. Dian membawaku ke salah satu rumah warga dekat Lawang Sewu. Terlihat foto seseorang di satu sudut dinding kamar, Tjahjadi –Pejuang veteran. Aku ingat, aku sempat membaca namanya samar ketika ia menancapkan linggis di dadaku, di dalam mimpiku.



Subscribe to Our Blog Updates!




Share this article!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML