Semakin mencekam suasana yang kurasa, semakin
kutelusuri pula tiap-tiap koridor yang ada. Suara-suara jeritan yang mengilukan
telinga terasa semakin dekat.
Di sini, tepat di titik aku berdiri sekarang. Tubuh
ringkih itu berbalik arah. Mata sipit yang dipaksa untuk menatapku, aku
gemetaran. Dia –kakek tua yang mencoba berjalan dalam keadaan pincang serta
muka yang terluka tak dapat kukenali –menuju ke arahku. Aku tak berani
menatapnya lebih dalam. Aku menundukkan kepala, aku ingin mengalihkan niatnya
mendekatiku tapi sepertinya gagal.
Dia mendekat, tangannya mulai meraba wajahku.
“Nooooooooooo……..” Mataku terpejam, berteriak
sekencang-kencangnya. Kubawa tubuhku untuk berlari.
Hah…hah…hah…
napasku tersengal setelah berlari sejauh ini.
“Dimana aku sebenarnya? Siapa dia?” Teriakku dengan
nada agak tercekik.
Terdengar bunyi langkah kaki yang terseret-seret,
jantungku berdegup kencang sekali. Mawas diri, aku mewaspadai sekeliling.
Kuharap dia tak mucul lagi. Satu dua tiga
empat, kuhitung dalam hati. Raungan yang menyeramkan terdengar dari sebelah
kiri telingaku, persis seperti ada sesuatu di balik lorong pintu.
“Aaaaaa…… Aaaaaaa,” teriakku lagi saat aku tertindih
olehnya. Dengan linggis di tangan kanannya. Aku harus melawan.
“Aaaaa ….. Ahh,” sekuat tenaga kutendang bagian
perutnya. Aku terlepas dari cengkramannya, aku harus berlari lagi. Linggis itu,
harus kubawa. Mencari langkah yang pas agar dapat melewati tubuhnya yang kotor.
SIAL! Dia kembali menangkap kakiku lalu diseret olehnya. Badanku lemas, napasku
sesak. Linggis itu, Tidakkkkkkkkkkkkkk!
Aku terbangun dan menatap nanar situasi
sekelilingku.
“Kamu sudah sadar. Lihat, keringatmu bercucuran.”
Ucap Dian, wanita yang baru kukenal sejak pertemuan kami di Lawang Sewu.
“Aku dimana?” Ternyata aku berada di kamar seorang
pejuang veteran tahun 1920-an. Aku pingsan saat menuju pintu ketujuh Lawang
Sewu karena kelelahan. Dian membawaku ke salah satu rumah warga dekat Lawang
Sewu. Terlihat foto seseorang di satu sudut dinding kamar, Tjahjadi –Pejuang
veteran. Aku ingat, aku sempat membaca namanya samar ketika ia menancapkan
linggis di dadaku, di dalam mimpiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar