Kamu
percaya, kalau takdir dapat diketahui hanya dengan melihat garis tangan? Angin
terlalu kencang di saat hari masih sepagi ini. Pukul 8 waktu yang ditunjukkan
oleh jam tangan yang kukenakan di pergelangan sebelah kiri. Isi kepalaku masih
dipenuhi pertanyaan yang diucapkan seorang wanita berkisar 40 tahunan. Dua
minggu lalu, wanita yang tak kukenali itu menghampiri lalu memegang tanganku.
Tangannya yang mulai mengeriput meraba perlahan telapak tanganku, mata dengan
sentuhan make up smokey menatap
mataku dalam.
Ia
merasakan dan bilang, “Garis tanganmu merujuk pada level taraf hidup yang
tinggi.” Wajahku tersimpul senyum. “Siapkan dirimu untuk…” ucapnya terhenti
berganti senyum lalu pergi tanpa mendengar satu katapun dariku.
Siapkan
diriku untuk apa? Aku selalu terbiasa menghabiskan pagi di taman kota sebelum
tenaga dan pikiran terkuras hingga malam. Sampai akhirnya seorang wanita
menemukan sebuah takdir di garis tangan gadis yang beranjak dewasa, ya aku.
Namun, ia serta-merta membiarkan diriku terombang-ambing oleh rasa penasaran.
Sejak hari itu, aku terus menunggu kedatangannya untuk mempertanyakan maksud
dari ucapannya. Selama itu pula ia tak pernah muncul lagi.
“Kayaknya
apa yang dibilang peramal itu bener deh. Terbukti kalau lo bakalan segera
dilamar. Iya, kan?”
“Uci,
siapa yang mau dilamar sih? Lagian wanita itu nggak tau beneran peramal atau
enggak. Dandanannya memang aneh banget sih.”
“Bukannya
seorang peramal emang punya gaya nyentrik, ya? Make up udah gotik eh pakaiannya warna-warni. Itu peramal apa
personil Cherrybelle? Hihihi.”
“Bukan
waktunya becandaa, ah!”
“By
the way, lo merasa beruntung banget nggak sih. Lo punya seseorang yang sangat
mengharapkan lo. Bahkan nggak bisa move on selama 2 tahun dari lo. Mana anak
dari keluarga kaya raya.”
“Entah-lah,
Ci.”
“Kalau
gue boleh kasih saran ke lo buat mikirin ini serius. Lo harus menatap masa
depan lo. Bisa dibilang kalau ini adalah kesempatan terbesar dalam hidup lo,”
Uci memastikan bahwa saran darinya sudah cukup tepat.
Beranjak
dari bangku dan meninggalkan obrolan ini, aku bergegas untuk segera berlanjut
pergi ke lokasi kerja setelah jam kuliah usai. Aku bekerja di salah satu
perusahaan retail terbesar di Indonesia, menjadi seorang sales promotion girl mewajibkanku untuk memiliki kesehatan fisik
yang lebih kuat. Kalau aku lengah, maka sangat memungkinkan untukku kehilangan
kesempatan bekerja dengan baik.
Kupikir
benar Tuhan telah menunjukkan jalan agar kualitas hidup dapat berubah. Aku
bersedia menjalani kehidupan seperti ini maka dari itu aku berusaha keras,
bekerja siang hingga malam hari agar dapat membiayai keseluruhan dana
pendidikanku. Tapi tidak untuk keturunanku kelak, apapun yang kualami saat ini,
jalan hidup anak-anakku akan jauh lebih baik daripada aku.
Batin
dilema, bingung. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tunggu, atau
jangan-jangan keadaan ini yang dimaksud wanita itu. Dimana aku berada pada
posisi tanpa pilihan. Sementara hatiku sangat ingin memilih. Wanita itu
menyuruhku mempersiapkan mental, hati, dan juga pikiran untuk mendapatkan
jawaban atas kegalauan.
Suhu
udara meningkat menjadi sangat dingin karena hujan baru saja reda malam ini.
Pekerjaanku selesai tepat pukul 10 malam. Kaki panjang yang terbalut celana
jins hitam menyecah di depan gedung plaza, aku masih menunggu angkutan-angkutan
umum yang terus beroperasi hingga malam supaya badanku bisa lebih cepat
kurebahkan di tempat tidur.
Seseorang
mengenakan kaos reglan berwarna navy berjalan mendekatiku. Kuambil kacamata
dari dalam tas lalu kupakai untuk menangkap wajahnya.
“Ella,”
sapanya halus. Suaranya sangat kentara kudengar, dia Dimas.
“Syukurlah
aku bisa menemuimu. Aku memang menduga kalau kamu masih bekerja di sini.”
“Ada
hal yang mau kamu bicarakan?”
“Ya.
Nomormu yang kusimpan udah nggak bisa kuhubungi. Oh ya, sekalian aku akan
mengantarmu pulang.” Tawarannya membuatku gugup. Setelah 2 tahun, apa aku boleh
menolak tawarannya itu?
“Sebentar,”
kuraih telepon genggam yang berdering di dalam saku celana. Aku memberi isyarat
padanya bahwa aku harus mengangkat panggilan telepon yang masuk.
Halo, Abi.
Oke. Aku tunggu!
Telepon
genggam itu kukembalikan ke posisi awal. Beralih ke hadapan Dimas, “Sorry, kita
bisa bertemu lain waktu tidak malam ini.”
Dia
tersenyum memperlihatkan sepasang gigi gingsul yang sungguh sulit kulupakan,
“Ternyata sudah ada seseorang yang kamu panggil ‘Abi’ sekarang. Baiklah, aku
mengerti tidak boleh mengganggu istri orang.”
Kata-katanya
mengagetkanku. Bukan maksud untuk membuatnya risih atas pertemuan ini tetapi
Abi adalah benar nama seorang teman.
“Aku
bercanda. Aku tau kamu belum menikah. Kalau begitu, aku pamit duluan. Apa
pacarmu sudah sampai?”
“Be…
Belum,” ucapku kagok. Sengaja bersembunyi di balik status ‘Abi’ supaya
terhindar dari pertemuan berikutnya dengan Dimas.
“Aku
harap kita masih bisa bertemu.”
Lega
rasanya wajahnya terlepas dari pandanganku. Huh, menit-menit yang tidak aku
harapkan. Membuat deg-deg-an saja. Tubuhku jadi semakin kaku tak karuan, angin
malam mampu menembus jaketku. Dimas Sufandi, kita akan bersama atau tidak semua
tergantung takdir.
Satu-satunya
hal yang menjadi topik pembicaraan antara hati dan logikaku adalah menentukan
keputusan secepatnya. Ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, kalau aku
menerima mungkin benar hidupku akan tenang dengan materi duniawi yang
menjanjikan yakni kekayaan. Kedua, kalau aku menolak kemungkinan besar
kesempatan itu tidak datang sekali lagi.
Hati
ini gusar apalagi pikiran yang enggan berhenti dari tuntutan hidup. Satu minggu
belakangan jadwal kuliahku berantakkan. Aku sulit melenyapkan segala keraguan
tentang keputusan yang akan segera kuberi. Kakiku melangkah melewati debu-debu
jalan yang akhirnya menempel di sebagian tapak sepatu. Tiba di taman kota yang
biasa kujadikan tempat mengadu, betapa riuhnya kendaraan-kendaraan di jalan
raya. Mereka kurang beruntung karena tidak dapat meluangkan waktu setiap pagi
untuk sekadar menikmati taman.
Di
bangku taman dekat pohon rindang, wanita itu di sana. Memakai rok cycle hijau
panjang, kukejar ia dengan langkah seribu. Ini sungguhan, ia tidak pergi atau
tiba-tiba menghilang.
“Aku
memang menunggumu, Gadis Melayu.” Dia berkata padaku –dari mana ia tahu kalau
aku keturunan suku Melayu –wajahnya sedikit lebih pucat dari pertama kali
bertemu. Tubuhnya pun gemetar namun tertahan.
“Ibu
ingin membaca garis tanganku sekali lagi?”
“Tidak,
Nak. Tapi, keputusanmu sangatlah tidak tepat. Ingat, jangan manfaatkan rupa
yang elok sebagai faktor keberuntungan dalam hidup.”
“Maksudnya? Aku tidak mengerti.”
Dia
kembali meninggalkanku sembarangan, masih dengan kejanggalan, masih dengan
tanpa jawaban. Tetapi raut wajah yang kuterima, ia seperti telah kukecewakan.
“Nur
Saila Bahri,” panggil seseorang padaku.
“Dimas.”
Tatanan
senyum yang persis sama waktu 6 tahun lalu, “Gadis Melayu dari keluarga Bahri.
Aku nggak salah menyebutkan namamu, kan?”
“Enggak.”
Aku dan Dimas memang mengatur pertemuan ini. Pertemuan dimana kami seperti
saling menjajaki satu sama lain seperti dulu.
“Aku
masih fasih melafalkan nama panjangmu.”
Aku
menatap wajahnya, tidak ada yang berubah. Alis tebal yang sedikit menungkik ke
atas, hidung mancung yang lurus. Andai tak pernah ada kisah ini, mana mungkin
sesulit itu melupakannya saat pertama kali ia menyakitiku.
“Apa
yang ingin kamu bicarakan?”
“Tentang
kita.”
“Bukankah
kata ‘kita’ udah berakhir 2 tahun lalu.”
“Ella,
kamu harus tau. Enggak mudah menjalani hidup tanpa kamu. Aku minta maaf karena
udah buat kamu kecewa.”
“Memaafkan
itu mudah yang sulit adalah menerima kembali kenyataan yang udah pernah kita
rasa pahit. Mungkin enam tahun masih waktu yang singkat buat kamu tapi nggak
buat aku. Enam tahun aku percaya dan mengharapkan kamu. Tapi, semudah
membalikkan telapak tangan. Kamu meninggalkan aku tanpa alasan. Apa bagimu itu
mudah untuk aku ingat lagi?”
“Aku
benar-benar minta maaf. Aku sungguh ingin memperbaiki kesalahanku padamu. Kamu
tau sendiri dari orang tuaku, setelah kamu tidak ada lagi wanita yang
kusinggahi.”
“Aku
enggak akan mempertanyakan alasan kenapa kamu memilih meninggalkanku dulu.
Karena mungkin akan semakin sangat menyakitkan.”
“Ella,
orang tuaku sudah sangat menyukai kamu. Mereka tau kalau kamu berasal dari
keluarga baik-baik. Maka dari itu, mereka tidak ingin aku dengan wanita lain
selain kamu.”
“Aku
tidak tau, apa aku harus bangga dengan image nama keluarga Bahri atau malah
sebaliknya. Yang menjalin bukanlah orang tua tetapi anaknya, percuma kalau
anaknya juga tidak bisa tulus mencintai untuk apa ada sebuah hubungan.”
“Tidak,
tidak, bukan begitu maksudku. Keluarga kita sudah saling kenal, kali ini aku
ingin serius sama kamu. Aku janji akan buat kamu bahagia. Aku tidak akan
membuat hidupmu kekurangan apapun, bahkan sedikit pun.”
“Ya,
aku tau betul status sosial keluargamu. Sangat berbanding terbalik dengan
keluargaku. Dimas, keberuntungan serta kebahagiaan tidak melulu soal materi,
harta kekayaan, bahkan status sosial. Hati dan cintamu bukan untukku sementara
aku mengabdi pada cinta yang tulus. Dimas, kisah cintaku memang nggak seperti Cinderella
yang bertemu pangeran hanya karena sepatu. Hidup nggak se-simpel alur cerita Princess
Disney.”
Dimas
menundukkan kepala dan menelan kekecewaan atas penjelasanku. Apa yang ia
rasakan saat ini tidak sebanding dengan keputusannya meninggalkanku tanpa
alasan di saat aku kira dialah orang yang aku cinta. Pernyataan yang kuberikan
di luar dari rencana keputusanku. Tadinya aku berpikir untuk menerimanya
kembali masuk ke kehidupanku, tapi nyatanya perasaan lebih memihak daripada logika.
Prediksi wanita itu benar adanya, kemungkinan untuk kembali dengan Dimas merupakan
hal yang tidak tepat. Kugenggam tangannya walau beberapa detik, sentuhan ini
untuk terakhir kali. Lalu berbisik, ‘kita
hanyalah sebuah masa lalu’.
Aku
percaya bahwa takdir dapat dilihat hanya dengan sebuah garis tangan. Wanita
peramal itu melihat masa depanku dan mengatakan bahwa taraf hidupku akan
meningkat. Kesimpulannya adalah jika kita ingin hidup dengan lebih baik, maka
kejarlah segala mimpi dan lakukanlah. Jika kita bersungguh-sungguh bukan tidak
mungkin kita meraih apa yang kita inginkan. Yang penting sekarang soal cinta
bukan hanya tahta. Lakukan semua dengan cinta.
Halo, Abi.
Temani aku menemui seseorang.
Oke.
Aku
menutup telepon. Aku akan mencari wanita peramal itu bersama Abi, teman satu
kampus yang selalu menjaga dan menemaniku kapan saja. Aku hanya ingin
mengatakan kalau ia tak perlu kecewa dengan keputusanku. Karena prediksinya berhasil
memotivasi untuk terus berjuang melanjutkan hidupku.
**Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar