Minggu, 22 November 2015

Bahri Di Garis Tangan



Kamu percaya, kalau takdir dapat diketahui hanya dengan melihat garis tangan? Angin terlalu kencang di saat hari masih sepagi ini. Pukul 8 waktu yang ditunjukkan oleh jam tangan yang kukenakan di pergelangan sebelah kiri. Isi kepalaku masih dipenuhi pertanyaan yang diucapkan seorang wanita berkisar 40 tahunan. Dua minggu lalu, wanita yang tak kukenali itu menghampiri lalu memegang tanganku. Tangannya yang mulai mengeriput meraba perlahan telapak tanganku, mata dengan sentuhan make up smokey menatap mataku dalam.

Ia merasakan dan bilang, “Garis tanganmu merujuk pada level taraf hidup yang tinggi.” Wajahku tersimpul senyum. “Siapkan dirimu untuk…” ucapnya terhenti berganti senyum lalu pergi tanpa mendengar satu katapun dariku.

Siapkan diriku untuk apa? Aku selalu terbiasa menghabiskan pagi di taman kota sebelum tenaga dan pikiran terkuras hingga malam. Sampai akhirnya seorang wanita menemukan sebuah takdir di garis tangan gadis yang beranjak dewasa, ya aku. Namun, ia serta-merta membiarkan diriku terombang-ambing oleh rasa penasaran. Sejak hari itu, aku terus menunggu kedatangannya untuk mempertanyakan maksud dari ucapannya. Selama itu pula ia tak pernah muncul lagi.

“Kayaknya apa yang dibilang peramal itu bener deh. Terbukti kalau lo bakalan segera dilamar. Iya, kan?”

“Uci, siapa yang mau dilamar sih? Lagian wanita itu nggak tau beneran peramal atau enggak. Dandanannya memang aneh banget sih.”

“Bukannya seorang peramal emang punya gaya nyentrik, ya? Make up udah gotik eh pakaiannya warna-warni. Itu peramal apa personil Cherrybelle? Hihihi.”

“Bukan waktunya becandaa, ah!”

“By the way, lo merasa beruntung banget nggak sih. Lo punya seseorang yang sangat mengharapkan lo. Bahkan nggak bisa move on selama 2 tahun dari lo. Mana anak dari keluarga kaya raya.”

“Entah-lah, Ci.”

“Kalau gue boleh kasih saran ke lo buat mikirin ini serius. Lo harus menatap masa depan lo. Bisa dibilang kalau ini adalah kesempatan terbesar dalam hidup lo,” Uci memastikan bahwa saran darinya sudah cukup tepat.

Beranjak dari bangku dan meninggalkan obrolan ini, aku bergegas untuk segera berlanjut pergi ke lokasi kerja setelah jam kuliah usai. Aku bekerja di salah satu perusahaan retail terbesar di Indonesia, menjadi seorang sales promotion girl mewajibkanku untuk memiliki kesehatan fisik yang lebih kuat. Kalau aku lengah, maka sangat memungkinkan untukku kehilangan kesempatan bekerja dengan baik.

Kupikir benar Tuhan telah menunjukkan jalan agar kualitas hidup dapat berubah. Aku bersedia menjalani kehidupan seperti ini maka dari itu aku berusaha keras, bekerja siang hingga malam hari agar dapat membiayai keseluruhan dana pendidikanku. Tapi tidak untuk keturunanku kelak, apapun yang kualami saat ini, jalan hidup anak-anakku akan jauh lebih baik daripada aku.

Batin dilema, bingung. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tunggu, atau jangan-jangan keadaan ini yang dimaksud wanita itu. Dimana aku berada pada posisi tanpa pilihan. Sementara hatiku sangat ingin memilih. Wanita itu menyuruhku mempersiapkan mental, hati, dan juga pikiran untuk mendapatkan jawaban atas kegalauan.

Suhu udara meningkat menjadi sangat dingin karena hujan baru saja reda malam ini. Pekerjaanku selesai tepat pukul 10 malam. Kaki panjang yang terbalut celana jins hitam menyecah di depan gedung plaza, aku masih menunggu angkutan-angkutan umum yang terus beroperasi hingga malam supaya badanku bisa lebih cepat kurebahkan di tempat tidur.

Seseorang mengenakan kaos reglan berwarna navy berjalan mendekatiku. Kuambil kacamata dari dalam tas lalu kupakai untuk menangkap wajahnya.

“Ella,” sapanya halus. Suaranya sangat kentara kudengar, dia Dimas.

“Syukurlah aku bisa menemuimu. Aku memang menduga kalau kamu masih bekerja di sini.”

“Ada hal yang mau kamu bicarakan?”

“Ya. Nomormu yang kusimpan udah nggak bisa kuhubungi. Oh ya, sekalian aku akan mengantarmu pulang.” Tawarannya membuatku gugup. Setelah 2 tahun, apa aku boleh menolak tawarannya itu?

“Sebentar,” kuraih telepon genggam yang berdering di dalam saku celana. Aku memberi isyarat padanya bahwa aku harus mengangkat panggilan telepon yang masuk.

Halo, Abi.
Oke. Aku tunggu!

Telepon genggam itu kukembalikan ke posisi awal. Beralih ke hadapan Dimas, “Sorry, kita bisa bertemu lain waktu tidak malam ini.”

Dia tersenyum memperlihatkan sepasang gigi gingsul yang sungguh sulit kulupakan, “Ternyata sudah ada seseorang yang kamu panggil ‘Abi’ sekarang. Baiklah, aku mengerti tidak boleh mengganggu istri orang.”
 Kata-katanya mengagetkanku. Bukan maksud untuk membuatnya risih atas pertemuan ini tetapi Abi adalah benar nama seorang teman.

“Aku bercanda. Aku tau kamu belum menikah. Kalau begitu, aku pamit duluan. Apa pacarmu sudah sampai?”

“Be… Belum,” ucapku kagok. Sengaja bersembunyi di balik status ‘Abi’ supaya terhindar dari pertemuan berikutnya dengan Dimas.

“Aku harap kita masih bisa bertemu.”

Lega rasanya wajahnya terlepas dari pandanganku. Huh, menit-menit yang tidak aku harapkan. Membuat deg-deg-an saja. Tubuhku jadi semakin kaku tak karuan, angin malam mampu menembus jaketku. Dimas Sufandi, kita akan bersama atau tidak semua tergantung takdir.

Satu-satunya hal yang menjadi topik pembicaraan antara hati dan logikaku adalah menentukan keputusan secepatnya. Ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, kalau aku menerima mungkin benar hidupku akan tenang dengan materi duniawi yang menjanjikan yakni kekayaan. Kedua, kalau aku menolak kemungkinan besar kesempatan itu tidak datang sekali lagi.

Hati ini gusar apalagi pikiran yang enggan berhenti dari tuntutan hidup. Satu minggu belakangan jadwal kuliahku berantakkan. Aku sulit melenyapkan segala keraguan tentang keputusan yang akan segera kuberi. Kakiku melangkah melewati debu-debu jalan yang akhirnya menempel di sebagian tapak sepatu. Tiba di taman kota yang biasa kujadikan tempat mengadu, betapa riuhnya kendaraan-kendaraan di jalan raya. Mereka kurang beruntung karena tidak dapat meluangkan waktu setiap pagi untuk sekadar menikmati taman.

Di bangku taman dekat pohon rindang, wanita itu di sana. Memakai rok cycle hijau panjang, kukejar ia dengan langkah seribu. Ini sungguhan, ia tidak pergi atau tiba-tiba menghilang.

“Aku memang menunggumu, Gadis Melayu.” Dia berkata padaku –dari mana ia tahu kalau aku keturunan suku Melayu –wajahnya sedikit lebih pucat dari pertama kali bertemu. Tubuhnya pun gemetar namun tertahan.

“Ibu ingin membaca garis tanganku sekali lagi?”

“Tidak, Nak. Tapi, keputusanmu sangatlah tidak tepat. Ingat, jangan manfaatkan rupa yang elok sebagai faktor keberuntungan dalam hidup.”

“Maksudnya? Aku tidak mengerti.”

Dia kembali meninggalkanku sembarangan, masih dengan kejanggalan, masih dengan tanpa jawaban. Tetapi raut wajah yang kuterima, ia seperti telah kukecewakan.

“Nur Saila Bahri,” panggil seseorang padaku.

“Dimas.”

Tatanan senyum yang persis sama waktu 6 tahun lalu, “Gadis Melayu dari keluarga Bahri. Aku nggak salah menyebutkan namamu, kan?”

“Enggak.” Aku dan Dimas memang mengatur pertemuan ini. Pertemuan dimana kami seperti saling menjajaki satu sama lain seperti dulu.

“Aku masih fasih melafalkan nama panjangmu.”

Aku menatap wajahnya, tidak ada yang berubah. Alis tebal yang sedikit menungkik ke atas, hidung mancung yang lurus. Andai tak pernah ada kisah ini, mana mungkin sesulit itu melupakannya saat pertama kali ia menyakitiku.

“Apa yang ingin kamu bicarakan?”

“Tentang kita.”

“Bukankah kata ‘kita’ udah berakhir 2 tahun lalu.”

“Ella, kamu harus tau. Enggak mudah menjalani hidup tanpa kamu. Aku minta maaf karena udah buat kamu kecewa.”

“Memaafkan itu mudah yang sulit adalah menerima kembali kenyataan yang udah pernah kita rasa pahit. Mungkin enam tahun masih waktu yang singkat buat kamu tapi nggak buat aku. Enam tahun aku percaya dan mengharapkan kamu. Tapi, semudah membalikkan telapak tangan. Kamu meninggalkan aku tanpa alasan. Apa bagimu itu mudah untuk aku ingat lagi?”

“Aku benar-benar minta maaf. Aku sungguh ingin memperbaiki kesalahanku padamu. Kamu tau sendiri dari orang tuaku, setelah kamu tidak ada lagi wanita yang kusinggahi.”

“Aku enggak akan mempertanyakan alasan kenapa kamu memilih meninggalkanku dulu. Karena mungkin akan semakin sangat menyakitkan.”

“Ella, orang tuaku sudah sangat menyukai kamu. Mereka tau kalau kamu berasal dari keluarga baik-baik. Maka dari itu, mereka tidak ingin aku dengan wanita lain selain kamu.”

“Aku tidak tau, apa aku harus bangga dengan image nama keluarga Bahri atau malah sebaliknya. Yang menjalin bukanlah orang tua tetapi anaknya, percuma kalau anaknya juga tidak bisa tulus mencintai untuk apa ada sebuah hubungan.”

“Tidak, tidak, bukan begitu maksudku. Keluarga kita sudah saling kenal, kali ini aku ingin serius sama kamu. Aku janji akan buat kamu bahagia. Aku tidak akan membuat hidupmu kekurangan apapun, bahkan sedikit pun.”

“Ya, aku tau betul status sosial keluargamu. Sangat berbanding terbalik dengan keluargaku. Dimas, keberuntungan serta kebahagiaan tidak melulu soal materi, harta kekayaan, bahkan status sosial. Hati dan cintamu bukan untukku sementara aku mengabdi pada cinta yang tulus. Dimas, kisah cintaku memang nggak seperti Cinderella yang bertemu pangeran hanya karena sepatu. Hidup nggak se-simpel alur cerita Princess Disney.”

Dimas menundukkan kepala dan menelan kekecewaan atas penjelasanku. Apa yang ia rasakan saat ini tidak sebanding dengan keputusannya meninggalkanku tanpa alasan di saat aku kira dialah orang yang aku cinta. Pernyataan yang kuberikan di luar dari rencana keputusanku. Tadinya aku berpikir untuk menerimanya kembali masuk ke kehidupanku, tapi nyatanya perasaan lebih memihak daripada logika. Prediksi wanita itu benar adanya, kemungkinan untuk kembali dengan Dimas merupakan hal yang tidak tepat. Kugenggam tangannya walau beberapa detik, sentuhan ini untuk terakhir kali. Lalu berbisik, ‘kita hanyalah sebuah masa lalu’.

Aku percaya bahwa takdir dapat dilihat hanya dengan sebuah garis tangan. Wanita peramal itu melihat masa depanku dan mengatakan bahwa taraf hidupku akan meningkat. Kesimpulannya adalah jika kita ingin hidup dengan lebih baik, maka kejarlah segala mimpi dan lakukanlah. Jika kita bersungguh-sungguh bukan tidak mungkin kita meraih apa yang kita inginkan. Yang penting sekarang soal cinta bukan hanya tahta. Lakukan semua dengan cinta.

Halo, Abi.
Temani aku menemui seseorang.
Oke.

Aku menutup telepon. Aku akan mencari wanita peramal itu bersama Abi, teman satu kampus yang selalu menjaga dan menemaniku kapan saja. Aku hanya ingin mengatakan kalau ia tak perlu kecewa dengan keputusanku. Karena prediksinya berhasil memotivasi untuk terus berjuang melanjutkan hidupku.

**Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com
Read More




Minggu, 01 November 2015

Pintu Tujuh



Semakin mencekam suasana yang kurasa, semakin kutelusuri pula tiap-tiap koridor yang ada. Suara-suara jeritan yang mengilukan telinga terasa semakin dekat.

Di sini, tepat di titik aku berdiri sekarang. Tubuh ringkih itu berbalik arah. Mata sipit yang dipaksa untuk menatapku, aku gemetaran. Dia –kakek tua yang mencoba berjalan dalam keadaan pincang serta muka yang terluka tak dapat kukenali –menuju ke arahku. Aku tak berani menatapnya lebih dalam. Aku menundukkan kepala, aku ingin mengalihkan niatnya mendekatiku tapi sepertinya gagal.

Dia mendekat, tangannya mulai meraba wajahku.

“Nooooooooooo……..” Mataku terpejam, berteriak sekencang-kencangnya. Kubawa tubuhku untuk berlari.

Hah…hah…hah… napasku tersengal setelah berlari sejauh ini.

“Dimana aku sebenarnya? Siapa dia?” Teriakku dengan nada agak tercekik.

Terdengar bunyi langkah kaki yang terseret-seret, jantungku berdegup kencang sekali. Mawas diri, aku mewaspadai sekeliling. Kuharap dia tak mucul lagi. Satu dua tiga empat, kuhitung dalam hati. Raungan yang menyeramkan terdengar dari sebelah kiri telingaku, persis seperti ada sesuatu di balik lorong pintu.

“Aaaaaa…… Aaaaaaa,” teriakku lagi saat aku tertindih olehnya. Dengan linggis di tangan kanannya. Aku harus melawan.

“Aaaaa ….. Ahh,” sekuat tenaga kutendang bagian perutnya. Aku terlepas dari cengkramannya, aku harus berlari lagi. Linggis itu, harus kubawa. Mencari langkah yang pas agar dapat melewati tubuhnya yang kotor. SIAL! Dia kembali menangkap kakiku lalu diseret olehnya. Badanku lemas, napasku sesak. Linggis itu, Tidakkkkkkkkkkkkkk!

Aku terbangun dan menatap nanar situasi sekelilingku.

“Kamu sudah sadar. Lihat, keringatmu bercucuran.” Ucap Dian, wanita yang baru kukenal sejak pertemuan kami di Lawang Sewu.

“Aku dimana?” Ternyata aku berada di kamar seorang pejuang veteran tahun 1920-an. Aku pingsan saat menuju pintu ketujuh Lawang Sewu karena kelelahan. Dian membawaku ke salah satu rumah warga dekat Lawang Sewu. Terlihat foto seseorang di satu sudut dinding kamar, Tjahjadi –Pejuang veteran. Aku ingat, aku sempat membaca namanya samar ketika ia menancapkan linggis di dadaku, di dalam mimpiku.
Read More




Minggu, 25 Oktober 2015

Comic Ngepot


Studio yang ramai ketika seluruh penonton, dimana setiap orang memberikan apresiasi berupa tawa sampai tepuk tangan yang meriah untuk setup-setup yang ditunjukkan oleh masing-masing komika.

“Jadi, kita bisa tarik kesimpulan. Lalu diulur.
Tarik lagi, ulur lagi.
Kok kayak perasaan gue ya, ditarik ulur mulu. Hehe.” Terdengar tawa-tawa samar  penonton setelah punchline kecil itu mendarat di telinga.

“Jadi, menurut gue.
ABG yang pake knalpot berisik itu tujuan utamanya adalah untuk menarik perhatian cabe-cabean.
Coba lo bayangin, cabe-cabean, pake celana gemes lagi jalan bertiga.
Terus cowok-cowok ABG lewat bawa motor yang knalpotnya berisik.
Terus  cabe-cabean yang lagi jalan bertiga tadi tuh ngerasa bakalan digoda gitu.
Tapi mereka nggak salah, ternyata pas dilihat, cowok-cowok ABG itu juga boncengan bertiga, Men.
Hah, beneran minta dicabein tuh ABG.
Oke, gue Dukun. Thank you!” Tawa penonton makin pecah setelah bit closing Raditya Dukun.

Gue sendiri pun nggak bisa ngilangin rasa geli gue ketika menikmati stand up comedy dari komika-komika super keren. Gue pernah ngebayangin sih, gimana ya kalau gue jadi komika? Lucu enggak, disorakin iya gue.

“Kagak kelar-kelar lo ketawa dari tadi,” ucap teman gue, Gobi.

“Keren banget si Dukun, materi kok cabe-cabean.” Gue masih cengengesan.

“Lo sadar nggak sih, lo lagi ngetawain diri lo sendiri.”

“Lah, apa hubungannya sama gue.” Gue mencoba menerka punchline apa yang bakal Gobi keluarin, gue rasa Gobi juga pengin jadi komika selain jadi profesor.

“Lo ketawa seolah udah jadi orang bener. Motor buluk lo aja pake knalpot berisik. Lo kagak sadar apa?”

Buset, ternyata si Gobi ngomongnya serius banget kaya protokol upacara bendera.

Gue emang punya hobi modifikasi motor. Biasa, gue anak motor yang kadang suka ngepot-ngepot-an. Jadi, segala sesuatunya mesti gue modif, sesuai kondisi badan gue yang kerempeng. Motor butut gue udah entah berapa kali gue reparasi –hehe, emangnya lemari es direparasi. Tapi tenang aja, gini-gini juga gue taat kok sama peraturan lalu lintas.  Gue sadar aja kalau gue tinggal di negara hukum, sebagai warga negara yang baik maka gue orang yang patut dicontoh.
***
Siang hari ketika gue akan pergi ke kampus. Tanpa gue tau alasan yang buat gue sampai ditilang, gue menuruti perintah Ibu Polisi untuk berhenti di pinggir jalan.

“Siang, Mas.” Sapa Ibu Polisi.

“Siang, Bu.” Balas gue.

“Mas tahu apa kesalahan yang dibuat sehingga akhirnya ditilang?” Tanya Ibu Polisi.

“Bukannya pria memang selalu salah di mata wanita?” Entah apa yang buat gue sampai berani mengeluarkan joke basi seperti ini di depan Ibu Polisi dalam keadaan yang nggak tepat. Satu hal yang harus gue percaya, siaran televisi yang suka menayangkan Polwan-polwan cantik itu nggak bohong. Ibu Polisi itu ternyata memang cantik banget.

“Mas,” panggil Ibu Polisi kepada gue yang sedang horni karena memandangi kecantikannya –kalimat ini gue bercanda loh, ya –masa iya gue horni pas kena tilang! Hehehe.

Sambil menulis kesalahan gue di lembaran kertas tilang dan sesekali melihat kelengkapan surat-surat berkendara gue, Ibu Polisi bilang “Kesalahan Anda ada pada atribut motor.
1. Warna motor tidak sesuai dengan yang tertulis di STNK
2. Ban tidak sesuai dengan Standar Nasional Indonesia
3. Knalpot yang seharusnya tidak digunakan, karena suara yang dihasilkan bisa mengganggu konsentrasi pengendara lain
Anda paham?” Ibu Polisi mengakhiri penjelasannya.

“Etdahh, ini Polwan tegas banget, yak!” Ucap gue dalam hati.


“Satu lagi! Jangan lupa memberikan tutup pada pentil ban Anda,” tegasnya lagi sembari memberikan surat tilang yang harus gue tandatangani.

“Terimakasih ya, Bu. Ternyata Ibu perhatian banget sama saya. Sudah lama saya tidak ada yang memperhatikan. Kasihan saya, Bu.”

“JANGAN CURHAT,” ini kalimat paling tegas yang pernah singgah di telinga jomblo daur ulang korban friend zone-an seperti gue.

Tidak berapa lama setelah kasus penilangan yang gue alami, gue tiba di kampus. Gobi sudah menunggu gue sedari tadi, pasti dia kesel karena gue nyaris menyerahkan nyawa ke dosen tanpa perang terlebih dahulu (baca: hampir terlambat masuk kelas pas tugas presentasi).

“Dari mana aja, lo?” Tanya Gobi.

“Sorry, sorry. Gue kena tilang.”

“Kok bisa?”

“Nih,” gue serahin surat tilang ke Gobi.

“Udah gue bilang, buang aja motor butut lo.” Gobi membacanya perlahan, “Kasus, titik dua, warna motor, ban, knalpot,” bersuara lirih.

“Eh, gue salah kasih. Nih, bon belanja alat-alat buat presentasi kita.
Sebenernya tutup pentil ban gue juga dipermasalahin sama Ibu Polisi.
Mungkin pas lihat muka gue, dia prihatin. Jadi kagak ikut ditulis.”

Gobi mengembalikan surat itu ke gue. Lalu memberikan sebuah makalah yang akan kami presentasikan.

“Lo pahami isinya, gue nggak mau presentasi kita gagal.”

Gobi, tipe cowok yang sedikit lebih serius dibandingkan gue. Di balik keseriusannya, banyak hal positif yang bisa gue dapat. Semenjak memilih berhubungan dengannya –setelah Isyana Saravati lebih memilih kakak-adek-an sama gue –nilai per matakuliah gue meningkat tiap semester. Gue pikir, gue nggak boleh lepas teman yang bentuknya begini. Lumayan buat ngerjai skripsi.

Akhirnya, presentasi gue dan Gobi berjalan lancar. Meski nggak satu pertanyaan pun yang mampu gue jawab. Besok gue pengin coba open mic di salah satu kafe di bilangan Bekasi. Gue nggak ngerti si Gobi kerasukan setan mana sampai dua kali gue ajakin nge-stand up nggak nolak.
***
Jam 2 siang gue udah jalan sama Gobi pake motor dia karena motor gue terpaksa masuk bengkel, kami menuju kafe yang biasa ngadain open mic. Gue kagak sabar pengin bawain materi yang udah gue susun pake lego. Ya enggaklah. Rasa percaya diri gue udah maksimal banget. Stand up gue bakal pecah dan kece badai, nggak kalah sama komika-komika seantero Bekasi.

Sebelum perempatan jalan, kok gue merasa Gobi semakin mirip siput. Bawa motornya lama.

“Anjrit,” seru Gobi.

“Kenapa, Bro?” Tanpa memperhatikan jalanan di depan.

“Kita ambil jalan lain aja.”

“Kalau macet tungguin aja, Bro. Telat kagak masalah, Bro.” Ucap gue sambil nge-stalking instagram Audi Marissa. Kebetulan antrean kendaraan di belakang motor kita nggak terlalu panjang. Gobi bisa langsung ambil jalur lain. Tapi, sepertinya dia salah.

“Bawa motornya santai aja. Ngejer apaan sih?” Tanya gue heran.

“Lo santai aja di boncengan.”

“Tapi, lo salah jalan.”

“Salah jalan apaan? Udah, lo tenang aja.”

“Lo lawan arah, Nyet!” Ungkap gue.

Saking paniknya Gobi bawa motor, perasaan gue mulai nggak karuan. Teman gue bawa motor dengan kecepatan di atas standar biasanya dia bawa motor. Mengejutkan.

Beberapa detik kemudian. Dengan posisi yang persis sama, gue dan Gobi tergeletak di aspal. Kaki kiri gue tertimpa body motor. Gue mendengar rintihan suara seseorang, kesakitan.

“Bro,” gue coba lihat kondisi Gobi.

“Gue nggak kenapa-napa.”

Setelah memastikan kalau kita berdua nggak kenapa-napa, kita langsung membenahi posisi motor yang sama sekali nggak epic. Tapi, tunggu. Kurang lebih 10 meter dari belakang kita, tergeletak pula seorang anak laki-laki berseragam SMP dengan sepeda motornya –merintih, masih sadarkan diri.

“Astagfirullah,” mulut gue bergumam.

“Kenapa dia tidur di jalan?” Tanya Gobi, gue cukup yakin telah terjadi pergeseran pada otak kiri Gobi setelah beberapa detik terjatuh.

“Kita nabrak, Men!” Seketika muka gue jadi jelek karena panik dan mencoba menyadarkan teman gue.

“WHAT!” Melihat ke sekeliling jalan. “Untung sepi, udah tinggalin aja.”

“Lo masih bilang untung! Gimana sama ini bocah. Kita mesti bawa ke rumah sakit.” Bujuk gue.

“Terus kita harus bayar biaya rumah sakit gitu?”

“Pertanyaan lo ngaco, nih. Ya, iyalah.”

“Terus dari mana uangnya?
Gue ambil jalan lain karena di perempatan jalan tadi ada razia.
Gue nggak punya SIM. Mau bayar pake apa kalau sampai gue kena tilang?
Sekarang malah nabrak anak orang.” Ungkapnya jujur tanpa sadar.

“Jadi, lo nggak punya SIM? Jadi, selama ini lo cuma ngebacot doang soal motor buluk gue yang akan terus kena tilang. Sementara motor bagus lo ini, yang punya kagak pake SIM. Yaalloh!” Gue menghela napas.

Sementara Gobi terus diam dan gue mikir gimana caranya tanggung jawab.

“Gini aja deh, lo balik aja. Nih anak, biar gue yang urus.” Ujar kekesalan gue ke Gobi.

“Lo kira gue nggak punya perasaan. Lo pikir lo bisa selesaikan semuanya. Lo mikir dong, gue sama lo sama-sama nggak punya uang buat biaya rumah sakit nanti.”

“Terus lo mau gue ikut pulang sama lo. Biarin anak ini tewas tanpa lulus sekolah. GUE NGGAK CEMEN!”
Tanpa pikir panjang, gue langsung gendong anak SMP itu menuju rumah sakit sebelum pada akhirnya akan banyak kehabisan darah. Gue meninggalkan Gobi dengan muka pengecutnya.
***
Open mic pertama gue.

“Selamat malam. Ini open mic pertama gue, ya.
Sebenernya gue udah lama banget pengen nyoba open mic.
Tapi, dosen gue belum ngasih gue kesempatan. Loh, kok dosen gue? Hehe, apa hubungannya, ya?
Jadi gue mau cerita soal motor buluk gue. Jadi, gue punya hobi modifikasi motor. Sebulan sekali wajib ada bagian motor yang gue modif, udah kayak imunisasi anak. Hehe.

Gue modif motor gue mulai dari velg jari-jari yang gue gonta-ganti dari yang biasa ke velg racing.
Ukuran ban yang nggak pernah sesuai sama standar motor, mungkin itu faktor yang buat gue jomblo terus sampai sekarang.
Pada tau alasannya apa?

Karena pas gue ganti ban motor yang kecil banget, gue pernah dapat cewek yang body-nya lebih gede dari body motor gue. Akhirnya gue putusin, kenapa? Kagak tahan tarikkannya, Men. Lagipula, kalau gue punya cewek yang body-nya lebih gede, gue suka susah sendiri. Gue susah ngepot. Ngepot tuh enak ya, jadi selain gue hobi modif motor, gue juga hobi ngepot. Ngepotnya tengah malam, pake lilin, ada yang jagain, dapat duit. Haaaaa…. Babi dong gue.”

Sampai di bit ini, reaksi penonton lumayan oke. Kebanyakkan orang tuh senang kalau seorang komika menghina dirinya sendiri. It’s okay, gue lebih baik menertawakan diri sendiri ketimbang menertawakan orang lain yang ‘mungkin’ gue belum ada apa-apanya dibanding orang yang gue tertawakan.

Oke gue lanjut.

“Nah, terus pas gue ganti ke ban yang agak lebih gede. Gue malah kagak pernah dapat cewek. Bukan gue yang berubah haluan, tapi kagak ada yang mau pacaran sama orang yang profesinya ngepet pake motor buluk pula.

Terus tuh ya, gue sengaja pake knalpot belah supaya suaranya garang gitu. Gue udah pasang velg racing super mahal plus sparepart Honda yang bagus-bagus. Weesssss! Gue promoin dah tuh Honda.

Terus gue nyari tuh jalanan yang baru di aspal. Biar berasa Marquez gue.”

“Hehehe… Hemm… Hah,” terdengar suara tawa yang memilukan sekedar buat menghargai gue.

“Yang buat gue gagal jadi Marquez bukan karena motor gue yang bulukkan. Tapi, karena body motor gue. Body motor gue, gue airbrush tuh. Tsethhhh, gambar keluarga Anang Hermansyah. Gue berharap Arsy akan menjadi jodoh gue kelak. Cantik banget soalnya, nggak kayak Aurel.”

Hahaha…. Hehaheha … Hahahaha. Penonton tertawa. Bit gue pecah.

“Tapi, gue juga mau ingetin nih buat kalian semua pengendara motor.Terutama para orang tua yang ngebiarin anak di bawah umur bawa motor. Plis,jangan diizinin. Kita nggak pernah tau apa yang bakal terjadi. Anak pamit dari rumah buat ke sekolah, eh, di tengah jalan malah jadi korban tabrak lari-lah, kecelakaan beruntun-lah. Macam-macam. Orang tua harus mengubah pola pikir, mana yang tepat buat manjain anak dan mana yang tepat buat mempermudah sarana transportasi.

Dan ada lagi nih, kalau kalian benar-benar pengendara motor, jangan sampai kagak punya SIM. SIM itu penting, guys. Kenapa? Soalnya kalau nggak punya SIM, terus di perempatan jalan yang lo lalui ada razia, pasti lo bingung resah takut nggak karuan. Akhirnya lo milih balik arah supaya terhindar dari razia.

Kalau nasib lo baik, lo bakal balik arah dengan damai. Tapi, kalau nasib lo buluk sama kayak motor gue, bahkan lo kagak bisa milih. Lo mau nabrak atau lo mau ditabrak. So, lengkapi surat-surat berkendara lo. Berkendaralah dengan ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan’.

Gue Hendro. Selamat Malam.”

Gue akhiri bit closing gue yang lebih mirip dengan khotbah. Gue turun dari panggung yang masih dihujani tepuk tangan. Seseorang menghampiri gue. Yups, Gobi. Setahun setelah kejadian tabrakkan dengan anak SMP itu, gue dan Gobi lulus kuliah. Setelah tabrakkan itu pula gue dan Gobi putus hubungan.

“Stand up lo keren. Setup lo, bit lo, act out lo, sampai delivery lo. Keren.” Ungkapnya.

“Hahaha, ngerti stand up lo sekarang,” balas gue.

“Lo keren dan gue cemen!” Ucap Gobi penuh penyesalan.

Gue dan Gobi saling menatap. Lalu berkelakar bersama.

Dasar comic ngepot.
***END***



Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML