Minggu, 22 November 2015

Bahri Di Garis Tangan



Kamu percaya, kalau takdir dapat diketahui hanya dengan melihat garis tangan? Angin terlalu kencang di saat hari masih sepagi ini. Pukul 8 waktu yang ditunjukkan oleh jam tangan yang kukenakan di pergelangan sebelah kiri. Isi kepalaku masih dipenuhi pertanyaan yang diucapkan seorang wanita berkisar 40 tahunan. Dua minggu lalu, wanita yang tak kukenali itu menghampiri lalu memegang tanganku. Tangannya yang mulai mengeriput meraba perlahan telapak tanganku, mata dengan sentuhan make up smokey menatap mataku dalam.

Ia merasakan dan bilang, “Garis tanganmu merujuk pada level taraf hidup yang tinggi.” Wajahku tersimpul senyum. “Siapkan dirimu untuk…” ucapnya terhenti berganti senyum lalu pergi tanpa mendengar satu katapun dariku.

Siapkan diriku untuk apa? Aku selalu terbiasa menghabiskan pagi di taman kota sebelum tenaga dan pikiran terkuras hingga malam. Sampai akhirnya seorang wanita menemukan sebuah takdir di garis tangan gadis yang beranjak dewasa, ya aku. Namun, ia serta-merta membiarkan diriku terombang-ambing oleh rasa penasaran. Sejak hari itu, aku terus menunggu kedatangannya untuk mempertanyakan maksud dari ucapannya. Selama itu pula ia tak pernah muncul lagi.

“Kayaknya apa yang dibilang peramal itu bener deh. Terbukti kalau lo bakalan segera dilamar. Iya, kan?”

“Uci, siapa yang mau dilamar sih? Lagian wanita itu nggak tau beneran peramal atau enggak. Dandanannya memang aneh banget sih.”

“Bukannya seorang peramal emang punya gaya nyentrik, ya? Make up udah gotik eh pakaiannya warna-warni. Itu peramal apa personil Cherrybelle? Hihihi.”

“Bukan waktunya becandaa, ah!”

“By the way, lo merasa beruntung banget nggak sih. Lo punya seseorang yang sangat mengharapkan lo. Bahkan nggak bisa move on selama 2 tahun dari lo. Mana anak dari keluarga kaya raya.”

“Entah-lah, Ci.”

“Kalau gue boleh kasih saran ke lo buat mikirin ini serius. Lo harus menatap masa depan lo. Bisa dibilang kalau ini adalah kesempatan terbesar dalam hidup lo,” Uci memastikan bahwa saran darinya sudah cukup tepat.

Beranjak dari bangku dan meninggalkan obrolan ini, aku bergegas untuk segera berlanjut pergi ke lokasi kerja setelah jam kuliah usai. Aku bekerja di salah satu perusahaan retail terbesar di Indonesia, menjadi seorang sales promotion girl mewajibkanku untuk memiliki kesehatan fisik yang lebih kuat. Kalau aku lengah, maka sangat memungkinkan untukku kehilangan kesempatan bekerja dengan baik.

Kupikir benar Tuhan telah menunjukkan jalan agar kualitas hidup dapat berubah. Aku bersedia menjalani kehidupan seperti ini maka dari itu aku berusaha keras, bekerja siang hingga malam hari agar dapat membiayai keseluruhan dana pendidikanku. Tapi tidak untuk keturunanku kelak, apapun yang kualami saat ini, jalan hidup anak-anakku akan jauh lebih baik daripada aku.

Batin dilema, bingung. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tunggu, atau jangan-jangan keadaan ini yang dimaksud wanita itu. Dimana aku berada pada posisi tanpa pilihan. Sementara hatiku sangat ingin memilih. Wanita itu menyuruhku mempersiapkan mental, hati, dan juga pikiran untuk mendapatkan jawaban atas kegalauan.

Suhu udara meningkat menjadi sangat dingin karena hujan baru saja reda malam ini. Pekerjaanku selesai tepat pukul 10 malam. Kaki panjang yang terbalut celana jins hitam menyecah di depan gedung plaza, aku masih menunggu angkutan-angkutan umum yang terus beroperasi hingga malam supaya badanku bisa lebih cepat kurebahkan di tempat tidur.

Seseorang mengenakan kaos reglan berwarna navy berjalan mendekatiku. Kuambil kacamata dari dalam tas lalu kupakai untuk menangkap wajahnya.

“Ella,” sapanya halus. Suaranya sangat kentara kudengar, dia Dimas.

“Syukurlah aku bisa menemuimu. Aku memang menduga kalau kamu masih bekerja di sini.”

“Ada hal yang mau kamu bicarakan?”

“Ya. Nomormu yang kusimpan udah nggak bisa kuhubungi. Oh ya, sekalian aku akan mengantarmu pulang.” Tawarannya membuatku gugup. Setelah 2 tahun, apa aku boleh menolak tawarannya itu?

“Sebentar,” kuraih telepon genggam yang berdering di dalam saku celana. Aku memberi isyarat padanya bahwa aku harus mengangkat panggilan telepon yang masuk.

Halo, Abi.
Oke. Aku tunggu!

Telepon genggam itu kukembalikan ke posisi awal. Beralih ke hadapan Dimas, “Sorry, kita bisa bertemu lain waktu tidak malam ini.”

Dia tersenyum memperlihatkan sepasang gigi gingsul yang sungguh sulit kulupakan, “Ternyata sudah ada seseorang yang kamu panggil ‘Abi’ sekarang. Baiklah, aku mengerti tidak boleh mengganggu istri orang.”
 Kata-katanya mengagetkanku. Bukan maksud untuk membuatnya risih atas pertemuan ini tetapi Abi adalah benar nama seorang teman.

“Aku bercanda. Aku tau kamu belum menikah. Kalau begitu, aku pamit duluan. Apa pacarmu sudah sampai?”

“Be… Belum,” ucapku kagok. Sengaja bersembunyi di balik status ‘Abi’ supaya terhindar dari pertemuan berikutnya dengan Dimas.

“Aku harap kita masih bisa bertemu.”

Lega rasanya wajahnya terlepas dari pandanganku. Huh, menit-menit yang tidak aku harapkan. Membuat deg-deg-an saja. Tubuhku jadi semakin kaku tak karuan, angin malam mampu menembus jaketku. Dimas Sufandi, kita akan bersama atau tidak semua tergantung takdir.

Satu-satunya hal yang menjadi topik pembicaraan antara hati dan logikaku adalah menentukan keputusan secepatnya. Ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, kalau aku menerima mungkin benar hidupku akan tenang dengan materi duniawi yang menjanjikan yakni kekayaan. Kedua, kalau aku menolak kemungkinan besar kesempatan itu tidak datang sekali lagi.

Hati ini gusar apalagi pikiran yang enggan berhenti dari tuntutan hidup. Satu minggu belakangan jadwal kuliahku berantakkan. Aku sulit melenyapkan segala keraguan tentang keputusan yang akan segera kuberi. Kakiku melangkah melewati debu-debu jalan yang akhirnya menempel di sebagian tapak sepatu. Tiba di taman kota yang biasa kujadikan tempat mengadu, betapa riuhnya kendaraan-kendaraan di jalan raya. Mereka kurang beruntung karena tidak dapat meluangkan waktu setiap pagi untuk sekadar menikmati taman.

Di bangku taman dekat pohon rindang, wanita itu di sana. Memakai rok cycle hijau panjang, kukejar ia dengan langkah seribu. Ini sungguhan, ia tidak pergi atau tiba-tiba menghilang.

“Aku memang menunggumu, Gadis Melayu.” Dia berkata padaku –dari mana ia tahu kalau aku keturunan suku Melayu –wajahnya sedikit lebih pucat dari pertama kali bertemu. Tubuhnya pun gemetar namun tertahan.

“Ibu ingin membaca garis tanganku sekali lagi?”

“Tidak, Nak. Tapi, keputusanmu sangatlah tidak tepat. Ingat, jangan manfaatkan rupa yang elok sebagai faktor keberuntungan dalam hidup.”

“Maksudnya? Aku tidak mengerti.”

Dia kembali meninggalkanku sembarangan, masih dengan kejanggalan, masih dengan tanpa jawaban. Tetapi raut wajah yang kuterima, ia seperti telah kukecewakan.

“Nur Saila Bahri,” panggil seseorang padaku.

“Dimas.”

Tatanan senyum yang persis sama waktu 6 tahun lalu, “Gadis Melayu dari keluarga Bahri. Aku nggak salah menyebutkan namamu, kan?”

“Enggak.” Aku dan Dimas memang mengatur pertemuan ini. Pertemuan dimana kami seperti saling menjajaki satu sama lain seperti dulu.

“Aku masih fasih melafalkan nama panjangmu.”

Aku menatap wajahnya, tidak ada yang berubah. Alis tebal yang sedikit menungkik ke atas, hidung mancung yang lurus. Andai tak pernah ada kisah ini, mana mungkin sesulit itu melupakannya saat pertama kali ia menyakitiku.

“Apa yang ingin kamu bicarakan?”

“Tentang kita.”

“Bukankah kata ‘kita’ udah berakhir 2 tahun lalu.”

“Ella, kamu harus tau. Enggak mudah menjalani hidup tanpa kamu. Aku minta maaf karena udah buat kamu kecewa.”

“Memaafkan itu mudah yang sulit adalah menerima kembali kenyataan yang udah pernah kita rasa pahit. Mungkin enam tahun masih waktu yang singkat buat kamu tapi nggak buat aku. Enam tahun aku percaya dan mengharapkan kamu. Tapi, semudah membalikkan telapak tangan. Kamu meninggalkan aku tanpa alasan. Apa bagimu itu mudah untuk aku ingat lagi?”

“Aku benar-benar minta maaf. Aku sungguh ingin memperbaiki kesalahanku padamu. Kamu tau sendiri dari orang tuaku, setelah kamu tidak ada lagi wanita yang kusinggahi.”

“Aku enggak akan mempertanyakan alasan kenapa kamu memilih meninggalkanku dulu. Karena mungkin akan semakin sangat menyakitkan.”

“Ella, orang tuaku sudah sangat menyukai kamu. Mereka tau kalau kamu berasal dari keluarga baik-baik. Maka dari itu, mereka tidak ingin aku dengan wanita lain selain kamu.”

“Aku tidak tau, apa aku harus bangga dengan image nama keluarga Bahri atau malah sebaliknya. Yang menjalin bukanlah orang tua tetapi anaknya, percuma kalau anaknya juga tidak bisa tulus mencintai untuk apa ada sebuah hubungan.”

“Tidak, tidak, bukan begitu maksudku. Keluarga kita sudah saling kenal, kali ini aku ingin serius sama kamu. Aku janji akan buat kamu bahagia. Aku tidak akan membuat hidupmu kekurangan apapun, bahkan sedikit pun.”

“Ya, aku tau betul status sosial keluargamu. Sangat berbanding terbalik dengan keluargaku. Dimas, keberuntungan serta kebahagiaan tidak melulu soal materi, harta kekayaan, bahkan status sosial. Hati dan cintamu bukan untukku sementara aku mengabdi pada cinta yang tulus. Dimas, kisah cintaku memang nggak seperti Cinderella yang bertemu pangeran hanya karena sepatu. Hidup nggak se-simpel alur cerita Princess Disney.”

Dimas menundukkan kepala dan menelan kekecewaan atas penjelasanku. Apa yang ia rasakan saat ini tidak sebanding dengan keputusannya meninggalkanku tanpa alasan di saat aku kira dialah orang yang aku cinta. Pernyataan yang kuberikan di luar dari rencana keputusanku. Tadinya aku berpikir untuk menerimanya kembali masuk ke kehidupanku, tapi nyatanya perasaan lebih memihak daripada logika. Prediksi wanita itu benar adanya, kemungkinan untuk kembali dengan Dimas merupakan hal yang tidak tepat. Kugenggam tangannya walau beberapa detik, sentuhan ini untuk terakhir kali. Lalu berbisik, ‘kita hanyalah sebuah masa lalu’.

Aku percaya bahwa takdir dapat dilihat hanya dengan sebuah garis tangan. Wanita peramal itu melihat masa depanku dan mengatakan bahwa taraf hidupku akan meningkat. Kesimpulannya adalah jika kita ingin hidup dengan lebih baik, maka kejarlah segala mimpi dan lakukanlah. Jika kita bersungguh-sungguh bukan tidak mungkin kita meraih apa yang kita inginkan. Yang penting sekarang soal cinta bukan hanya tahta. Lakukan semua dengan cinta.

Halo, Abi.
Temani aku menemui seseorang.
Oke.

Aku menutup telepon. Aku akan mencari wanita peramal itu bersama Abi, teman satu kampus yang selalu menjaga dan menemaniku kapan saja. Aku hanya ingin mengatakan kalau ia tak perlu kecewa dengan keputusanku. Karena prediksinya berhasil memotivasi untuk terus berjuang melanjutkan hidupku.

**Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com
Read More




Minggu, 01 November 2015

Pintu Tujuh



Semakin mencekam suasana yang kurasa, semakin kutelusuri pula tiap-tiap koridor yang ada. Suara-suara jeritan yang mengilukan telinga terasa semakin dekat.

Di sini, tepat di titik aku berdiri sekarang. Tubuh ringkih itu berbalik arah. Mata sipit yang dipaksa untuk menatapku, aku gemetaran. Dia –kakek tua yang mencoba berjalan dalam keadaan pincang serta muka yang terluka tak dapat kukenali –menuju ke arahku. Aku tak berani menatapnya lebih dalam. Aku menundukkan kepala, aku ingin mengalihkan niatnya mendekatiku tapi sepertinya gagal.

Dia mendekat, tangannya mulai meraba wajahku.

“Nooooooooooo……..” Mataku terpejam, berteriak sekencang-kencangnya. Kubawa tubuhku untuk berlari.

Hah…hah…hah… napasku tersengal setelah berlari sejauh ini.

“Dimana aku sebenarnya? Siapa dia?” Teriakku dengan nada agak tercekik.

Terdengar bunyi langkah kaki yang terseret-seret, jantungku berdegup kencang sekali. Mawas diri, aku mewaspadai sekeliling. Kuharap dia tak mucul lagi. Satu dua tiga empat, kuhitung dalam hati. Raungan yang menyeramkan terdengar dari sebelah kiri telingaku, persis seperti ada sesuatu di balik lorong pintu.

“Aaaaaa…… Aaaaaaa,” teriakku lagi saat aku tertindih olehnya. Dengan linggis di tangan kanannya. Aku harus melawan.

“Aaaaa ….. Ahh,” sekuat tenaga kutendang bagian perutnya. Aku terlepas dari cengkramannya, aku harus berlari lagi. Linggis itu, harus kubawa. Mencari langkah yang pas agar dapat melewati tubuhnya yang kotor. SIAL! Dia kembali menangkap kakiku lalu diseret olehnya. Badanku lemas, napasku sesak. Linggis itu, Tidakkkkkkkkkkkkkk!

Aku terbangun dan menatap nanar situasi sekelilingku.

“Kamu sudah sadar. Lihat, keringatmu bercucuran.” Ucap Dian, wanita yang baru kukenal sejak pertemuan kami di Lawang Sewu.

“Aku dimana?” Ternyata aku berada di kamar seorang pejuang veteran tahun 1920-an. Aku pingsan saat menuju pintu ketujuh Lawang Sewu karena kelelahan. Dian membawaku ke salah satu rumah warga dekat Lawang Sewu. Terlihat foto seseorang di satu sudut dinding kamar, Tjahjadi –Pejuang veteran. Aku ingat, aku sempat membaca namanya samar ketika ia menancapkan linggis di dadaku, di dalam mimpiku.
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML